Jakarta, 2 September 2025 – Pernyataan Menteri Perdagangan Budi Santoso beberapa hari lalu yang menyebut sepinya pasar rakyat bukan akibat penurunan daya beli masyarakat, melainkan pergeseran kebiasaan belanja ke platform online, telah memicu diskusi luas di kalangan pelaku usaha dan masyarakat.
Salah satunya dari Muhammad Sutisna selaku Pengamat Politik dan Keamanan saat dihubungi Media melalui sambungan seluler, yang mengatakan bahwa meskipun Pernyataan Menteri Perdagangan ini mencerminkan upaya untuk memahami dinamika perdagangan modern. Namun realitas ekonomi saat ini menunjukkan tantangan yang jauh lebih kompleks.
Pelemahan daya beli masyarakat, melambatnya transaksi di platform daring, dan tekanan persaingan dari barang impor, baik legal maupun ilegal, menuntut kepekaan mendalam serta strategi terpadu untuk memperkuat ekosistem perdagangan nasional. “Ungkap Sutisna”
Bahkan bila kita merujuk Data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 hanya mencapai 4,87%, melambat dibandingkan triwulan IV-2024 yang sebesar 5,02%. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 54,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), hanya tumbuh 4,95% pada triwulan II-2025, lebih rendah dari pertumbuhan PDB keseluruhan. Ini menunjukkan adanya tekanan signifikan pada daya beli masyarakat, yang menjadi motor utama ekonomi nasional. “Ujar Sutisna”.
Laporan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga mencatat kenaikan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 32% pada semester I-2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, terutama di sektor tekstil, garmen, dan ritel. Kondisi ini memperburuk tingkat pengangguran terselubung dan semakin melemahkan kemampuan konsumsi masyarakat.
Sektor perdagangan daring, yang disebut sebagai penyebab utama sepinya pasar rakyat, juga tidak luput dari tekanan. Meskipun nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai US$130 miliar pada 2025, laporan terbaru dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menunjukkan perlambatan pertumbuhan transaksi daring sebesar 12% pada semester I-2025 dibandingkan periode sebelumnya.
Sutisna mengungkapkan penurunan ini dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat dan banjirnya barang impor, terutama dari Tiongkok, yang masuk melalui platform e-commerce dengan harga jauh lebih kompetitif. Barang impor ilegal yang lolos pengawasan bea cukai semakin mempersulit pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang menyumbang 50 juta pelaku usaha dan 60% dari total tenaga kerja nasional.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan perdagangan tidak hanya terletak pada perubahan pola konsumsi, tetapi juga pada isu struktural seperti rendahnya daya saing produk lokal dan lemahnya pengawasan perdagangan. “Ujar Sutisna”
Bahkan Sutisna menilai pernyataan Menteri Perdagangan tampaknya belum sepenuhnya mencerminkan akar masalah yang dihadapi pelaku usaha dan masyarakat. Menurutnya, tantangan perdagangan saat ini membutuhkan pendekatan yang lebih holistik, yang mampu mengatasi pelemahan daya beli, melindungi UMKM dari tekanan barang impor, dan mendorong daya saing produk lokal di pasar domestik maupun global.
Dalam konteks ini, Sutisna menekankan pentingnya kepemimpinan yang memiliki visi strategis dan kepekaan terhadap dinamika lapangan. Tanpa bermaksud mengurangi penghargaan atas kerja keras Kementerian Perdagangan saat ini, ia menilai bahwa tantangan ekonomi yang semakin kompleks memerlukan figur yang mampu merumuskan kebijakan inovatif dan terukur, serta menjalin sinergi dengan pelaku usaha, khususnya UMKM.
Menurut Alumni Magister Universitas Indonesia ini, menyarankan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan evaluasi terhadap menteri perdagangan dengan menggantinya dengan sosok yang lebih mumpuni guna memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan dapat menjawab tantangan zaman.
Salah satu nama yang muncul sebagai kandidat potensial adalah Harvick Hasnul Qolbi, yang dikenal memiliki pengalaman luas dalam mendorong kebijakan yang berpihak pada UMKM dan memperkuat daya saing produk lokal. Harvick memiliki rekam jejak yang kuat dalam memahami kebutuhan pelaku usaha kecil dan menengah, serta visi untuk membangun ekosistem perdagangan yang inklusif dan kompetitif. Kepemimpinan seperti ini dapat menjadi katalis untuk mengatasi tantangan perdagangan saat ini dan membawa dampak positif bagi perekonomian nasional.
Sutisna mengatakan untuk mengatasi krisis perdagangan yang sedang berlangsung, pemerintah perlu mengambil langkah konkret yang terpadu. Penguatan pengawasan terhadap barang impor ilegal melalui sinergi antara Kementerian Perdagangan, Bea Cukai, dan platform e-commerce menjadi krusial untuk melindungi produk lokal.
Selain itu, penyediaan akses pembiayaan murah, pelatihan digitalisasi, dan perluasan akses pasar bagi UMKM dapat meningkatkan daya saing mereka di tengah persaingan dengan produk impor. Percepatan belanja pemerintah untuk proyek-proyek padat karya juga diperlukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong konsumsi domestik. Selain itu, kampanye nasional untuk memprioritaskan produk dalam negeri, baik di pasar tradisional maupun daring, dapat memperkuat kepercayaan konsumen terhadap produk lokal dan mengurangi ketergantungan pada barang impor.
Sehingga evaluasi kepemimpinan di sektor perdagangan bukanlah sekadar perubahan personal, melainkan kebutuhan strategis untuk memastikan Indonesia mampu menghadapi tantangan ekonomi global. Dengan kepemimpinan yang tepat, didukung oleh kebijakan yang berpihak pada rakyat, Indonesia dapat mewujudkan ekosistem perdagangan yang tangguh, berdaya saing, dan inklusif. “Tutup Sutisna”